Kejahatan korporasi yaitu merupakan salah satu wacana yang timbul dengan semakin majunya kegiatan perekenomian dan teknologi.Kejahatan korporasi bukanlah hal baru, melainkan suatu masalah lama yang senantiasa berganti kemasan. Tidak ada yang dapat menyangkal bahwa perkembangan zaman serta kemajuan peradaban dan teknologi turut disertai dengan perkembangan tindak kejahatan berserta kompleksitasnya. Di sisi lain, ketentuan Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia belum dapat menjangkaunya dan senantiasa ketinggalan untuk merumuskannya. Salah satu contohnya adalah Tindak Pidana Pencucian Uang yang baru dikriminalisasi secara resmi pada tahun 2002. Contoh lain adalah kejahatan dunia maya atau cyber crime yang sampai dengan saat ini pengaturannya masih mengundang tanda tanya. Akibatnya, banyak bermunculan tindakan-tindakan atau kasus-kasus illegal, namun tidak dapat dikategorikan sebagaicrime.
Agar dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang, maka di berlakukanya Undang Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentan Perubahan Atas Undang Undang Nomor 15 Tan 2002 tetang Tindak Pidana pencucian perlu disesuaikan dengan perkembangan hukum pidana tentang pencucian uang dan standarinternasional, dengan berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud tersebu diatas.
Tindak pidana (crime) dapat diidentifikasi dengan timbulnya kerugian (harm), yang kemudian mengakibatkan lahirnya pertanggungjawaban pidana ataucriminalliability. Yang pada gilirannya mengundang perdebatan adalah bagaimana pertanggungjawaban korporasi atau corporate liability mengingat bahwa di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang dianggap sebagai subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan dalam konotasi biologis yang alami (naturlijkee person). Di samping itu, KUHP juga masih menganut asas sociates delinquere non potest dimana badan hukum atau korporasi dianggap tidak dapat melakukan tindak pidana.Sally. A. Simpson yang mengutip pendapat John Braithwaite menyatakan kejahatan korporasi adalah “conduct of a corporation, or employees acting on behalf of a corporation, which is proscribed and punishable by law“.Simpson menyatakan bahwa ada tiga ide pokok dari definisi Braithwaite mengenai kejahatan korporasi. Pertama, tindakan ilegal dari korporasi dan agen-agennya berbeda dengan perilaku kriminal kelas sosio-ekonomi bawah dalam hal prosedur administrasi. Karenanya, yang digolongkan kejahatan korporasi tidak hanya tindakan kejahatan atas hukum pidana, tetapi juga pelanggaran atas hukum perdata dan administrasi. Kedua, baik korporasi (sebagai “subyek hukum perorangan “legal persons“) dan perwakilannya termasuk sebagai pelaku kejahatan (as illegal actors), dimana dalam praktek yudisialnya, bergantung pada antara lain kejahatan yang dilakukan, aturan dan kualitas pembuktian dan penuntutan. Ketiga, motivasi kejahatan yang dilakukan korporasi bukan bertujuan untuk keuntungan pribadi, melainkan pada pemenuhan kebutuhan dan pencapaian keuntungan organisasional. Tidak menutup kemungkinan motif tersebut ditopang pula oleh norma operasional (internal) dan sub-kultur organisasional.Pertanggungan Jawaban Pidana Akibat Kejahatan Koorporasi.Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia memang hanya menetapkan bahwa yang menjadi subjek tindak pidana adalah orang persorangan (legal persoon). Pembuat undang-undang dalam merumuskan delik harus memperhitungkan bahwa manusia melakukan tindakan di dalam atau melalui organisasi yang, dalam hukum keperdataan maupun di luarnya (misalnya dalam hukum administrasi), muncul sebagai satu kesatuan dan karena itu diakui serta mendapat perlakuan sebagai badan hukum atau korporasi. Berdasarkan KUHP, pembuat undang-undang akan merujuk pada pengurus atau komisaris korporasi jika mereka berhadapan dengan situasi seperti itu. Sehingga, jika KUHP Indonesia saat ini tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk pertanggungjawaban pidana oleh korporasi, namun hanya dimungkinkan pertanggungjawaban oleh pengurus korporasi. Hal ini bisa kita lihat dalam pasal 398 KUHP yang menyatakan bahwa jika seorang pengurus atau komisaris perseroan terbatas, maskapai andil Indonesia atau perkumpulan korporasi yang dinyatakan dalam keadaan pailit atau yang diperintahkan penyelesaian oleh pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun 4 bulan: 1. jika yang bersangkutan turut membantu atau mengizinkan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan anggaran dasar, sehingga oleh karena itu seluruh atau sebagian besar dari kerugian diderita oleh perseroan, maskapai, atau perkumpulan.
Jakarta-Wakil Ketua Komisi XI DPR Harry Azhar Azis mengungkapkan kasus Melinda Dee dan kasus debt collector yang menimpa Citibank mungkin saja merupakan sebuah kejahatan korporasi.”Polisi kan bilang kemungkinan masih tetap ada. Kita lihat saja nanti, kita enggak bisa memberikan sanksi karena belum ada bukti yang kuat,” ujar Harry ketika berbincang dengan okezone, Minggu (1/5/2011). Menanggapi masalah ini, Harry mengaku akan kembali membahasnya dengan pihak Bank Indonesia (BI) untuk menilai apakah keputusan BI sesuai dengan keputusan komisi atau tidak.”Masih pembahasan. Apa yang sudah dilakukan Bank Indonesia, nanti Mei kita masuk lagi. Kesempatan rapat kerja dengan gubernur BI,” tambahnya. Harry pun menambahkan belum adanya laporan resmi dari BI mengenai masalah ini atau masalah pelanggaran standard of procedure (SOP) dari pihak Citibank. Pihaknya pun akan terus menelusuri kasus ini. “Sekarang belum ada laporan lebih lanjut,” Ungkap Harry.Lebih lanjut, dirinya juga masih mempertanyakan kepastian kasus ini, apakah termasuk kejahatan korporasi atau kejahatan individual.”Apakah nanti kasus ini tingkat tertentu badan usaha. Sekarang kan posisinya masih individual. Apakah itu ada kaitan dengan kejahatan korporasi, apakah tindakan kematian nasabah atau Melinda jabatan tertentu kejahatan korporasi,” pungkasnya.
Kesimpulan :kejahatan korporasi merupakan tindakan kriminal yang sangat berbahaya dan sangat merugikan banyak orang.kejahatan ini terorganisir maka dari itu harus di tangani dengan serius oleh pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar